Penasehat Utama Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen, Brent Neiman, mengkritik keras utang China.
Ia mengatakan ‘bantuan’ Beijing itu, dapat membebani lusinan negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan masalah pembayaran utang selama bertahun-tahun, pertumbuhan yang lebih rendah dan kurangnya investasi.
Menurutnya praktik utang China sangat ‘tidak biasa’. Diperkirakan China memiliki pinjaman resmi sebesar US$ 500 miliar hingga US$1 triliun, terutama untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Banyak dari negara-negara itu menghadapi kesulitan utang setelah meminjam banyak untuk memerangi Covid-19 dan kejatuhan ekonominya,” katanya dalam acara Peterson Institute for International Economics, dikutip Reuters, Selasa (20/9/2022).
“Sekarang perang Rusia di Ukraina telah menyebabkan harga pangan dan energi melonjak, sementara kenaikan suku bunga di negara maju telah memicu arus keluar modal bersih terbesar dari pasar negara berkembang sejak krisis keuangan global,” jelasnya lagi.
Menurutnya, memang krisis utang sistemik belum terjadi. Tetapi tekanan ekonomi dan kerentanan domestik meningkat dan bisa tumbuh lebih buruk.
Pasalnya China merupakan kreditur bilateral terbesar di dunia. Bahkan, mengklaim melampaui Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF) dan semua kreditur resmi Paris Club jika digabungkan.
Dipaparkannya pula bagaimana 44 negara berutang setara dengan lebih dari 10% produk domestik bruto (PDB) ke China. Namun Beijing tak pernah ‘membantu’ saat mereka butuh bantuan.
China, tegasnya, secara konsisten memilih untuk memperpanjang jatuh tempo atau masa tenggang. Dan, dalam beberapa kasus seperti di Kongo pada 2018, tegasnya, malah meningkatkan nilai bersih pinjamannya.
“China juga kurang transparansi dan sering menggunakan perjanjian tak terungkap yang memperumit upaya restrukturisasi utang terkoordinasi dan berarti kewajiban kepada China secara sistematis ‘dikeluarkan’ dari pengawasan multilateral,” katanya lagi.
Salah satu contohnya di Chad dan Ethiopia. Menurutnya China menandatangani Kerangka Kerja Umum untuk perawatan utang yang disepakati oleh G20 namun tak merealisasikan di dua negara itu.
Hal sama juga, ujarnya, terjadi di Zambia. China malah memperpanjang ketidakpastian dan dapat mencegah negara-negara lain untuk membantu.
Sementara itu mengutip BBC International Juli, Kepala Badan Intelijen Luar Negeri Inggris MI6 Richard Moore, mengatakan China menggunakan apa yang disebutnya “jebakan utang”. Ini untuk mendapatkan pengaruh atas negara lain.
“Ada kabar yang menyebutkan ketika melakukan pinjaman ke China, pada akhirnya beberapa negara harus menyerahkan kendali atas aset-aset utama jika mereka tidak dapat memenuhi pembayaran utang mereka,” katanya.
“Namun, tuduhan ini sudah sejak lama dibantah oleh Beijing,” tambahnya.
Ia mencontohkan Sri Lanka, yang memiliki proyek pelabuhan besar-besaran di Hambantota dengan investasi dari China. Namun, proyek miliaran dollar AS itu malas membebani keuangan negara.
Akhirnya, pada tahun 2017, Sri Lanka setuju untuk memberi China Merchants kepemilikan 70% saham pengendali di pelabuhan. Di mana ada sewa 99 tahun sebagai imbalan atas investasi China lebih lanjut.
Sumber : CNBC Indonesia