Inflasi terjadi di mana-mana, termasuk Mongolia. Inflasi di salah satu negara di Asia Timur ini telah melonjak tahun ini dan mencapai 14,4% pada Agustus 2022, dibandingkan dengan 9,5% pada Agustus 2021.
Harga makanan dan minuman meningkat sekitar seperlima tahun pada Agustus, tingkat yang sama dengan obat-obatan dan perawatan kesehatan. Tak terkecuali biaya pakaian, utilitas, dan perumahan juga naik.
Angara Banerji, kepala misi Dana Moneter Internasional (IMF), mencantumkan sejumlah faktor di balik inflasi negara itu, termasuk kenaikan harga daging domestik, pembatasan perbatasan China, lonjakan harga minyak dan makanan, dan peningkatan biaya transportasi dan logistik untuk impor.
“Inflasi melonjak tajam sejak pertengahan 2021 dan telah melampaui target Bank of Mongolia,” kata Banerji, dilansir AFP, Senin (26/9/2022).
Tahun ini mata uang Mongolia telah jatuh hampir 15% terhadap dolar Amerika Serikat, sebagian besar sejak dimulainya serangan Rusia ke Ukraina.
Mata uang yang menurun telah mendorong naiknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi sebuah negara yang berjuang untuk menavigasi tantangan ekonomi global yang disebabkan oleh kemacetan transportasi dan tekanan inflasi, perang dan ketidakpastian ekonomi.
Kini di pasar pertukaran uang Naiman Sharga Ulan Bator, para wanita tua berdiri di jalan sambil melambaikan segepok uang kepada orang yang lewat, berharap mereka menukar mata uang asing ke tugrik, mata uang Mongolia.
Setiap transaksi memberi mereka keuntungan kecil, tetapi ketika nilai tugrik berfluktuasi membuat hal itu lebih sulit, ditambah akhir-akhir ini mata uang telah merosot.
“Tingkatnya turun secara dramatis karena perang di Ukraina dan virus corona,” kata Ts. Maisaikhan, seorang pedagang mata uang yang beroperasi di dalam pasar. “Kami tidak memproduksi banyak sendiri, sebagian besar diimpor, jadi ketika dolar naik, harga semuanya juga naik.”
Di sebelah kantor penukaran uang terletak Urt Tsagaan (Long White), mal pejalan kaki yang dipenuhi dengan pembuat perhiasan, penjahit, penata rambut, kios perbaikan sepatu bot, tukang sepatu, dan studio tato.
Di toko menjahit dekat tempat penukaran uang, Sukhbaatar Tuya mengatakan bahwa dia membeli beberapa daging dan sayuran setiap hari tetapi ketika harga melonjak tiba-tiba itu artinya ia hanya bisa membeli lebih sedikit produk.
“Kami hanya pergi hari demi hari,” katanya. “Kami tidak punya rencana apa pun selain tiga hari atau seminggu ke depan. Kita harus hidup seperti ini… Tidak ada jalan lain.”
Sumber : CNBC Indonesia