Jagat media sosial dihebohkan dengan somasi yang dilayangkan Esteh Indonesia, perusahaan yang menjual aneka minuman segar kepada salah satu pelanggannya.
Somasi tersebut diberikan setelah pelanggan produk tersebut melontarkan kritik karena minuman yang diproduksi terlalu manis. Komplain tersebut dianggap Es Teh Indonesia mengandung hinaan dengan tidak pantas.
Cerita bermula saat konsumen beridentitas @Gan***** menyampaikan komplain terhadap salah satu produk Es Teh Indonesia, Chizu Red Velvet. Dalam kicauannya, akun tersebut mengatakan produk tersebut seperti gula seberat 3 kg.
Selain itu, kicauan akun tersebut juga melontarkan kata-kata yang kurang baik. Komentar itu pun mendapatkan sejumlah respon dari warganet. Ada beberapa pihak yang mendukung, ada pula yang mengingatkan bahwa pernyataan tersebut bisa menjadi bumerang bagi yang bersangkutan.
Twit dari akun tersebut kemudian mendapatkan respon dari akun Twitter resmi @esteh_indonesia. “Halo kak, terima kasih supportnya. Sehubungan dengan tweet tersebut, datanya sudah diterima oleh tim legal kami,” tulis akun Es Teh Indonesia.
Tak cukup sampai disitu, pihak manajemen Es Teh Indonesia melalui legalnya juga ikut melayangkan somasi kepada akun tersebut. Surat somasi itu dilayangkan pada Sabtu (24/9/2022) lalu.
Brian Michael, selaku tim legal Es Teh Indonesia menyebut perusahaan selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari konsumen. Namun, Es Teh Indonesia merasa keberatan dengan kicauan tersebut lantaran pernyataan atas rasa manis pada produk bersifat subjektif.
“Kurang pantas menyatakan bahwa produk Chizu Red Velvet seperti gula seberat 3 kg. Kami menganggap pernyataan tersebut dapat menyebabkan pemberian informasi keliru dan/atau menyesatkan kepada konsumen/publik,” tulisnya
Salah satu yang membuat perusahaan keberatan dengan kicauan tersebut adalah adanya kata-kata hewan dan kata kurang baik lainnya yang ditujukan kepada perusahaan selaku pemilik merek. Hal tersebut dianggap menjadi kerugian tersendiri.
“Dengan ini kami memperingatkan dan menegur dengan keras saudara untuk segera melakukan penghapusan dan klarifikasi pernyataan pada akun Twitter pribadi saudara, paling lambat 2×24 jam sejak tanggal surat ini,” bunyi somasi tersebut.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan pun telah mengomentari fenomena kehebohan minuman berpemanis. Bea Cukai mengomentari apakah mungkin ini waktu yang tepat untuk mengenakan cukai bagi minuman berpemanis.
Pemerintah sudah sejak lama menggaungkan rencana penerapan cukai minuman berpemanis. Hal ini tak lepas dari tren prevalensi diabetes di Indonesia yang terus mengalami peningkatan secara signifikkan. Bea Cukai pun menjalankan fungsinya untuk pengendalian.
Berdasarkan data International Diabetes Federation, Indonesia menempati urutan ke 7 sebagai negara pengidap diabetes tertinggi dengan prevalensi sebesar 6,2%. Situasi ini tentu mengkhawatirkan karena di masa depan ini akan menjadi beban tersendiri.
Selain itu, rencana penerapan cukai minuman berpemanis juga sebagai salah satu cara untuk memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Maklum saja, barang kena cukai di Indonesia saat ini hanya hasil tembakau, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan plastik.
Apalagi, negara-negara lain sudah terlebih dahulu menerapkan cukai untuk minuman cukai berpemanis dan sukses menurunkan konsumsi. Sebut saja negara seperti Inggris, Perancis, Finlandia, Chili, Afrika Selatan, bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Dalam Laporan World Bank bertajuk Taxes on Sugar-Sweetened Beverages: International Evidence and Experience yang dirilis pada 2020 juga menyebutkan cukai menjadi salah satu instrumen untuk mengendalikan konsumsi minuman berpemanis.
Pada tahun yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah buka suara mengenai potensi penerimaan negara apabila cukai minuman berpemanis diterapkan. Saat itu, ada tiga kategori minuman yang akan dikenakan cukai yakni kemasan, karbonasi, dan lainnya dengan estimasi penerimaan negara hingga Rp 6,25 triliun.
Namun, rencana tersebut mendapatkan penolakan keras dari kalangan pengusaha industri makanan minuman. Mereka merasa rencana tersebut tidak tepat diberlakukan lantaran perekonomian masih terkena dampak dari pandemi Covid-19.
Selama dua tahun, pembahasan rencana tersebut pun tarik ulur. Hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu menyebut bahwa rencana penerapan cukai untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sudah dimasukkan dalam RAPBN 2023.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani lantas mengamini hal tersebut. Pemerintah dan DPR akan segera membahas kemungkinan untuk mengenakan cukai minuman berpemanis pada 2023 mendatang.
“Tentu kita punya mekanisme dan akan tetap usulkan di 2023,” kata Askolani.
Sumber : CNBC Indonesia