Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengaku dalam posisi membela diri soal penggunaan gas air mata saat menangani massa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Polri mengklaim mempunyai alasan tersendiri, meskipun aturan FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion. Menurut polisi, suporter Arema FC atau Aremania di dalam stadion bertindak anarkis karena tidak bisa menerima kekalahan dari Persebaya.
“Kita tidak bisa hanya menyudutkan personel polisi yang bertugas mengamankan situasi yang anarki, walaupun menggunakan gas air mata saat menghalau para suporter Aremania yang turun dari tribun kemudian hendak ‘menyerbu’ para pemain karena rasa kecewa dan tidak terima atas kekalahan,” dikutip dari laman resmi Polri, Rabu (5/10).
Menurut polisi, perilaku anarkis para suporter juga harus menjadi titik perhatian publik. Polisi mempertanyakan sikap suporter yang melampiaskan kekecewaan atas kekalahan Arema.
“Bukankah kalah dan menang dalam pertandingan sepak bola adalah sesuatu yang biasa saja,” tulis polisi.
Lebih lanjut, polisi pun menyatakan perlu mengusut tuntas tindakan anarkis sebagian suporter usai pertandingan. Polisi akan mendalami apakah tindakan anarkis suporter disebabkan oleh provokator hingga akhirnya menimbulkan korban jiwa.
Selain itu, polisi mengatakan perlu ada evaluasi penggunaan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.
“Siapa pun pihak yang melanggar aturan harus ditindak demi keadilan dan kemajuan persepakbolaan di Tanah Air,” ujar polisi.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, terjadi usai pertandingan antara Arema FC lawan Persebaya dengan skor akhir 2-3, pada Sabtu (1/10) malam.
Beberapa pendukung Arema sempat masuk ke area lapangan setelah pertandingan berakhir.
Namun, polisi menembakkan gas air mata, sehingga penonton banyak yang luka-luka dan meninggal karena terinjak-injak dan sesak napas. Di antaranya ada pula aparat polisi yang meninggal.
Penggunaan gas air mata oleh polisi ini disorot banyak pihak. Jumlah korban tewas disebutkan mencapai 131 orang.
Sumber: CNN Indonesia