Situasi di Sri Lanka masih memanas. Terbaru, ribuan warga kembali menggelar protes di ibu kota, Kolombo, Kamis waktu setempat.
Mereka merupakan aktivis hak-hak sipil, serikat pekerja dan mahasiswa. Para pendemo mengekspresikan ketidakpuasan mereka atas situasi ekonomi, termasuk penindasan brutal terhadap demonstrasi sebelumnya.
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Ini mendorong banyak orang ke dalam kemiskinan.
Inflasi tahunan mencapai 85,8% dan harga barang-barang non-makanan berada pada 62,8%. Produk domestik bruto (PDB) Sri Lanka diperkirakan berkontraksi alias minus 8,7%.
Laporan Al Jazeera menyebut para pengunjuk rasa frustrasi karena tampak tidak ada penghentian krisis ekonomi yang sedang berlangsung. “Biaya hidup melonjak, inflasi makanan mencapai 90%, dan orang-orang benar-benar berjuang,” katanya seorang pendemo, dikutip Jumat.
Pusat Koordinasi Serikat Pekerja memprakarsai unjuk rasa tersebut. Gerakan rakyat, termasuk serikat pekerja dan tokoh-tokoh terkemuka, sebelumnya telah menggulingkan mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Ia kemudian digantikan Ranil Wickremesinghe pada 21 Juli. Wickremesinghe segera mengumumkan keadaan darurat, di mana ia memberikan kekuatan besar kepada militer untuk terhadap pengunjuk rasa.
Beberapa pemimpin protes pun telah ditangkap. Pada Agustus, PBB mendesak Wickremesinghe untuk mengakhiri tindakan keras, menyebut tindakan darurat mereka sebagai penyalahgunaan.
Sebelumnya, Sri Lanka diatur untuk menerima bailout setelah mencapai kesepakatan awal dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk pinjaman sekitar US$2,9 miliar. Namun, kesepakatan itu bergantung pada jaminan keuangan dari kreditur resmi dan negosiasi dengan kreditur swasta, sehingga tidak jelas kapan akan dikeluarkan.
Sumber : CNBC Indonesia