Perselingkuhan memang selalu meninggalkan banyak luka dan trauma bagi para korban. Sebab mempunyai pasangan yang bermain di belakang sangatlah menyakiti hati, bahkan seringkali meninggalkan luka baik secara psikis maupun psikologis.
Karena itu, tak heran kalau perselingkuhan kerap menjadi alasan perceraian.
Siapa yang lebih cenderung selingkuh?
Sebuah studi pada 2018 oleh James McNulty dan rekannya di Florida State University juga menemukan bahwa perselingkuhan lebih umum terjadi di antara mereka yang kurang puas dengan hubungan mereka saat ini.
Daya tarik fisik juga berperan. Wanita yang cantik cenderung tidak berselingkuh; namun hal ini tidak berlaku bagi pria.
Selain itu, daya tarik pasangan juga menjadi faktor pemicu perselingkuhan. Menurut penelitian tersebut, pria lebih cenderung tidak setia saat pasangannya kurang menarik.
Psikolog Belanda Joris Lammers dan rekannya menemukan bahwa peningkatan status dan power sosial juga berkaitan dengan perselingkuhan. Ini karena jabatan dan kedudukan meningkatkan kepercayaan diri seseorang untuk menarik perhatian dari lawan (atau bahkan sesama) jenis.
Pria lebih menderita setelah selingkuh
Penelitian terbaru (2022) di Jerman yang diterbitkan di Sage Journals menunjukkan bahwa gender berperan dalam dinamika perselingkuhan.
Yang mengejutkan ternyata pria pelaku perselingkuhan lebih menderita dibanding wanita yang menginisasi pengkhianatan.
Wanita yang memprakarsai perselingkuhan cenderung mengalami peningkatan dalam kesejahteraan (well-being) pribadi secara bertahap setelah peristiwa tersebut.
Mengenai efek positif pada wanita, penulis berspekulasi bahwa perselingkuhan yang dilakukan wanita lebih sering dimotivasi oleh ketidakpuasan hubungan daripada pria. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan karena alasan itu lebih cenderung mengarah pada hasil yang positif.
Sumber : CNBC Indonesia