Salah satu suku yang berada di wilayah Indonesia kini tengah menjadi trending dalam pencarian Google. Ini karena karena suku yang berasal dari Pulau Sulawesi, Indonesia tersebut menjadi inspirasi film Avatar 2: The Way of Water.
Film garapan sutradara James Cameron ini mendapat sambutan hangat karena telah dinantikan selama 13 tahun sejak Avatar rilis di 2009. Penonton kembali melihat keindahan visual dunia Pandora dalam film Avatar 2.
Tak hanya itu, film ini unik dengan mengangkat isu konservasi dimana Berbagai protes disajikan secara simbolis, termasuk soal eksploitasi alam dan perburuan fauna laut yang brutal. Penonton akan disuguhi adegan menyesakkan saat sejumlah satwa laut diburu tanpa ampun, mengingatkan kondisi di kehidupan nyata.
Dalam Avatar 2, penonton akan menemui Suku Metkayina sebagai penghuni Pandora selain Suku Omaticaya.
Suku Metkayina Mendapat Inspirasi Dari Suku Bajo
Sang Sutradara James Cameron mengaku melakukan banyak riset untuk menciptakan karakter Suku Metkayina. Dalam hal ini meneliti budaya dari suku-suku yang hidup berdampingan dengan laut.
Menariknya, salah satu inspirasi dari Suku Metkayina adalah suku dari Indonesia, yakni Suku Bajo, atau dikenal dengan nama Suku Bajau dan Suku Sama.
Suku Bajo memiliki karakteristik kemaritiman cukup kental. Saat ini mereka tersebar di beberapa wilayah perairan Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke pantai timur Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina).
Suku Bajo terkenal dengan ciri khasnya yang nomaden sehingga suku ini biasa dikenal dengan “sea gypsy”.
Sutradara Avatar 2, James Cameron menuturkan, budaya dan arsitektur khas orang Bajo tersebut lalu dihadirkan dalam sekuel Avatar lewat sosok Suku Metkayina, salah satu suku Na’vi atau Avatar yang mendiami laut di Pandora.
“Ada orang laut di Indonesia (Bajo) yang hidup di rumah panggung (di laut) dan di atas rakit dan semacamnya. Kami melihat hal-hal seperti itu, dan kami melihat beberapa desa berbeda denganway of water (jalur air) yang menggunakan arsitektur pepohonan lokal,” kata Cameron dalam The Science Behind James Cameron’s Avatar: The Way of Waterdi kanal YouTube National Geographic, dikutip Kamis(22/12/2022).
Mengenal Suku Bajo di Indonesia
Suku Bajo sebagai komunitas yang tidak bisa dipisahkan dengan laut, memiliki tradisi yang unik dan amat kaya dalam hubungannnya dengan laut.
Kekayaan kebudayaan Suku Bajo ini berbeda-beda diberbagai tempat dimana komunitas Suku Bajo berada, sesuai dengan faktor teritorial dan geneologis mereka.
Tapi ada satu kesamaan, yaitu Suku bangsa ini memiliki kearifan lingkungan sebagai hasil dari suatu proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi secara turun temurun.
Orang Bajau saat ini banyak yang sudah menetap. Mereka membangun rumah di atas laut. Selain itu, mereka juga terkenal sebagai orang yang sangat pandai berenang di laut dalam (bisa menyelam selama 30 menit tanpa menggunakan alat apapun).
Mata pencaharian mereka sebagian mereka adalah sebagai nelayan dan dikenal sebagai nelayan ulung. Selain itu, sebagai nelayan mereka juga dikenal sebagai pelaut tertangguh di nusantara.
Hasil tangkapan ikan akan dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Beberapa Suku Bajo sudah mengenal teknik budidaya produk laut seperti lobster, ikan kerapu, atau udang.Tempat budidaya yang disebut tambak terapung ini biasanya terletak tidak jauh dari pemukiman.
Permukiman mereka di Desa Torsiaje dibangun di laut sejak 1901, dengan luas lebih kurang 200 hektar. Pembangunan sosial ekonomi dan perkembangan akses penduduk memungkinkan penyebaran masyarakat Bajo ke wilayah pesisir lain.
Berabad-abad mengarungi samudera, mereka tersebar di wilayah segitiga terumbu karang di Asia Tenggara, menghuni perairan, tepi pantai dengan rumah berpondasi batu dan material batu.
Mereka kerap juga disebut “Orang Laut‟, “sama bajau” atau gipsi laut yang menyatu dengan laut sejak dulu itu kini tersebar di timur Kalimantan, Sulawesi, nusa tenggara, hingga Filipina bagian selatan.
Terkait tempat tinggal, Suku Bajo menetap di rumah-rumah sederhana yang juga tak terpisahkan dari laut.Mereka membangun rumah di tepian pantai atau laut dangkal, dengan tiang pancang untuk menjaga rumah dari pasang air laut.Rumah mereka beratapkan rumbia, berdinding kayu, dan dalam satu rumah biasanya dihuni oleh satu keluarga atau lebih.
Perahu kayu sederhana diparkir di pelataran rumah (yang halamannya pun air laut) menjadi sarana transportasi sehari-hari.
Sumber : CNBC Indonesia