Seorang gadis berusia delapan tahun di India menolak mewarisi kekayaan berlian bernilai jutaan dolar. Ia justru lebih memilih untuk menjadi biarawati dan meninggalkan kesenangan duniawi.
Dilansir dari BBC, Kamis (26/1/2023), putri sulung Dhanesh dan Ami Sanghvi, Devanshi Sanghvi memutuskan untuk menggunakan pakaian sari putih, bertelanjang kaki, dan mendatangi rumah ke rumah untuk mencari sedekah sebagai seorang biarawati salah satu agama tertua di dunia, Jainisme.
Pada Rabu waktu setempat lalu, Devanshi mengambil sumpah untuk meninggalkan kesenangan duniawi, Diksha di hadapan biksu Jainisme yang dihadiri puluhan ribu orang di Surat, Gujarat, India. Saat mengambil sumpah, Devanshi didampingi oleh orang tuanya dengan mengenakan mahkota berlian dan pakaian berbahan sutra halus.
Usai upacara pengambilan sumpah, Devanshi berdiri bersama biarawati lainnya dengan baju sari putih yang juga menutupi kepalanya yang gundul. Dengan demikian, Devanshi akan tinggal di biara tempat tinggal biksu dan biksuni Jainisme, Upashraya.
“Dia tidak bisa lagi tinggal di rumah, orang tuanya bukan lagi orang tuanya, dia adalah seorang Sadhvi [seorang biarawati] sekarang,” kata politisi Partai Bharatiya sekaligus rekan keluarga Devanshi, Kirti Shah, dikutip Kamis (26/1/2023).
“Kehidupan seorang biarawati Jain benar-benar keras. Dia sekarang harus berjalan ke mana-mana, dia tidak akan pernah bisa naik transportasi apa pun, dia akan tidur di atas seprai putih di lantai dan tidak bisa makan setelah matahari terbenam,” lanjutnya.
Keputusan Devanshi sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab, ia tumbuh dari orang tua yang dikenal sangat religius. Bahkan, teman-teman keluarganya mengaku bahwa Devanshi sudah menjalani kehidupan spiritual sejak masih balita.
Alih-alih menonton televisi, film, atau pergi ke mal dan restoran seperti anak lain seusianya, Devanshi justru memilih untuk berdoa tiga kali sehari dan berpuasa sejak usia dua tahun. Kini, ia menjadi biarawati di satu-satunya sekte Jainisme yang menerima biarawati anak.
Dilaporkan, sehari sebelum upacara pelepasannya, keluarga Devanshi mengadakan perayaan besar-besaran di kota Surat. Dalam perayaan tersebut, Devanshi dan keluarganya duduk di atas kereta kencana yang ditarik oleh seekor gajah diiringi dengan unta, kuda, gerobak sapi, penabuh genderang, dan pria bersorban yang membawa kanopi. Sementara itu, orang-orang yang hadir melemparkan mereka dengan kelopak mawar.
Selain di kota Surat, prosesi tersebut juga dilaksanakan di Mumbai dan kota tempat keluarga Sanghvis berbisnis, Antwerpen, Belgia.
Mengundang kontra
Diangkatnya Devanshi menjadi biarawati di usia belia mengundang sejumlah kontra. Sebagian besar masyarakat mempertanyakan alasan orang tua yang tidak mau menunggu Devanshi mencapai usia dewasa sebelum memutuskan untuk menjadi biarawati.
Salah satu konsultan perlindungan anak di Mumbai, Prof. Nilima Mehta mengatakan bahwa Devanshi akan mengalami kesulitan dan kekurangan yang sangat besar. Sebab, kehidupan sebagai seorang biarawati Jainisme sangatlah keras.
“Hidup sebagai biarawati Jain sangat keras,” ungkap Prof. Mehta.
Prof. Mehta mengatakan, persetujuan seorang anak bukanlah bentuk persetujuan dalam hukum. Secara hukum, seseorang baru bisa membuat keputusan secara independen ketika sudah berusia 18 tahun. Sebelum berusia 18 tahun, keputusan seorang anak harus dibuat oleh orang tua atau walinya dengan pertimbangan kebaikan anak.
“Jika keputusan itu merampas pendidikan dan rekreasi anak maka itu adalah pelanggaran terhadap hak-haknya,” tegas Prof. Mehta.
Salah satu undangan perayaan Devanshi, Shah, mengaku tidak hadir dalam perayaan tersebut karena ia menganggap bahwa tidak ada agama yang mengizinkan anak-anak menjadi biksu atau biarawati.
“Dia masih anak-anak, apa yang dia mengerti tentang semua ini?,” ujar Shah.
“Anak-anak bahkan tidak dapat memutuskan jurusan apa yang akan dipelajari di perguruan tinggi sampai mereka berusia 16 tahun. Bagaimana mereka dapat membuat keputusan tentang sesuatu yang akan berdampak pada seluruh hidup mereka?” lanjutnya.
Shah mengatakan, pemerintah harus menghentikan praktik anak-anak yang meninggalkan duniawi ini. Hal tersebut juga didukung oleh masyarakat lainnya yang menganggap praktik ini melanggar hak-hak anak.
Berbeda dengan Prof. Mehta dan Shah, salah satu pengajar filosofi Jainisme di Universitas Mumbai, Dr. Bipin Doshi mengatakan bahwa prinsip hukum tidak bisa diterapkan pada dunia spiritual. Menurutnya, Devanshi tidak dirugikan sama sekali.
“Ada yang mengatakan seorang anak tidak cukup dewasa untuk mengambil keputusan seperti itu, tetapi ada anak-anak dengan kemampuan intelektual yang lebih baik daripada orang dewasa. Demikian pula, ada anak-anak yang cenderung spiritual. Jadi, apa yang salah jika mereka menjadi biksu?,” sanggah Dr. Doshi.
“Dia mungkin kehilangan hiburan tradisional, tetapi apakah itu benar-benar diperlukan untuk semua orang? Dan saya tidak setuju bahwa dia akan kehilangan cinta atau pendidikan,” lanjutnya.
Hingga saat ini, BBC melaporkan bahwa Kepala Komisi Nasional Perlindungan Hak Anak (NCPCR), Priyank Kanungo menolak untuk mengomentari fenomena yang mengundang kontra tersebut karena kasus Devanshi dianggap sebagai masalah sensitif.
Sumber : CNBC Indonesia