Bali merayakan Hari Arak Bali untuk pertama kalinya pada hari Minggu dengan sebuah acara di Nusa Dua yang mempromosikan minuman keras tradisional yang disuling dari getah atau buah pohon palem.
“Melalui perayaan Hari Arak Bali ini, saya mengajak masyarakat Bali untuk memanfaatkan arak untuk kepentingan yang benar seperti untuk keperluan ritual adat, kesehatan dan kuliner. Dilarang keras minum arak untuk mabuk dan merusak kesehatan,” kata Gubernur Bali I Wayan Koster pada Desember lalu, saat mengumumkan akan digelar Arak Bali Day.
Acara tersebut menampilkan perayaan terkait arak yang melibatkan pejabat Bali, pelaku bisnis perhotelan, pengusaha, petani, dan pemilik klub di seluruh Bali.
Dibuat dengan nira (ekstrak bunga) kelapa atau aren, arak difermentasi dan disuling oleh pengrajin di banyak desa di seluruh pulau.
Minuman keras yang khas telah menjadi bagian dari kehidupan orang Bali selama ratusan tahun. Itu hadir di upacara keagamaan, minum di perayaan dan menyelinap ke acara hiburan publik, yang saat ini termasuk klub pantai dan konser.
Insiden keracunan publik, keracunan alkohol, dan bahkan kematian karena arak yang tidak disiapkan dengan benar membuatnya terkenal, terutama di kalangan wisatawan.
“Arak Bali adalah minuman keras hasil sulingan tradisional Bali yang merupakan warisan budaya kita dan perlu dilindungi, dipelihara, diberdayakan, dipasarkan dan dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan budaya dan memberdayakan ekonomi masyarakat,” kata Koster.
Koster menegaskan arak aman selama dikonsumsi dengan benar. Gubernur mengaku dirinya mengkonsumsi arak setiap hari, mencatat bahwa campuran arak dan kopi hitam adalah suplemen harian favoritnya.
“Saya dapat minum lima gelas campuran setiap hari, dan saya tidak pernah mabuk. Ini baik untuk tubuh kita,” katanya.
Pada tahun 2014, pemerintah pusat menempatkan minuman beralkohol seperti arak pada “daftar investasi negatif”, yang pada dasarnya melarang investasi asing di industri minuman keras negara yang sudah lesu. Sementara beberapa orang menyambut keputusan tersebut sebagai upaya untuk membatasi efek buruk konsumsi alkohol, di daerah dengan sejarah budaya konsumsi alkohol yang panjang, perlawanan tetap ada.
Pada tahun 2020, Bali mengeluarkan peraturan daerah yang memberikan kerangka hukum untuk penyulingan dan distribusi arak. Peraturan tersebut mewajibkan pembuat arak dan petani independen untuk memasarkan produk mereka melalui koperasi yang bermitra dengan pabrik terpilih untuk memproduksi, membotolkan, dan mengemas minuman keras secara massal.
Tahun lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengakui miras sebagai salah satu bentuk warisan budaya tak benda. I Ketut Sumerta, petani dari Desa Tri Eka Bhuana di Karangasem, Bali, menyambut baik upaya Pemprov untuk mengembangkan industri arak.
“Sebelumnya, saya menjual tuak [arak yang disuling] hanya seharga Rp 4.000 [27 sen AS] hingga Rp 5.000 per liter. Sekarang saya bisa jual sekitar Rp 6.000 per liter,” kata Sumerta.
Dia mengatakan kebijakan baru telah membuatnya merasa lebih aman dan diterima.
“Dulu kami diawasi polisi, tapi sekarang tidak lagi. Saya sangat berterima kasih untuk itu,” katanya.