News24xx.com – Sebagian besar warga Indonesia akan mengira mereka yang diadopsi oleh warga asing dan tinggal ke luar negeri adalah orang-orang yang beruntung dan sudah pasti hidup bahagia. Namun nyatanya, tak demikian adanya. Itu yang dialami sebagian dari 3.000 anak Indonesia yang diadopsi ke Belanda, dengan dokumen palsu, selama satu dekade hingga 1983. Pencarian jati diri menjadi pergulatan batin tersendiri bagi mereka, sepanjang hidup.
Krisis identitas dan trauma adalah dua hal yang kerap dirasakan oleh mereka yang diadopsi secara ilegal – yang hingga kini kesulitan mencari orang tua kandungnya di Indonesia.
Paling tidak, itu yang dirasakan oleh Widya Astuti Boerma, warga negara Belanda yang diadopsi dari Indonesia di penghujung 1970-an.
Dilansir dari BBC Indonesia yang bertemu dengan perempuan yang akrab disapa Widya itu pada pertengahan 2021 silam, kala ia berkunjung ke Indonesia demi menindaklanjuti beberapa petunjuk pencarian ibu kandungnya yang ia dapat dari warganet Indonesia.
Utas tentang pencarian ibu kandungnya sempat viral di dunia maya setahun sebelumnya, hingga informasi baru bermunculan, termasuk orang-orang yang mengaku sebagai ibu kandungnya dan kepastian tentang “ibu palsu” yang ia temui pada 1991.
Ia tiba di Indonesia kala kebijakan Covid di Indonesia masih sangat ketat, sehingga ia harus menghabiskan lima hari pertamanya di Indonesia di fasilitas karantina.
Ramah dan terbuka, kesan itu yang saya tangkap ketika kami pertama berjumpa. Ia sangat berterus terang, tapi juga tampak canggung.
Mungkin karena ia masih merasa asing dengan lingkungan baru di kampung halamannya.
Diadopsi ketika usianya belum sampai 5 tahun – setidaknya itu yang diklaim di surat kelahirannya – ia memiliki ingatan yang kuat tentang masa kecilnya di Indonesia.
Dalam memorinya, ia merasa pernah bersimpuh di hadapan Sultan di Yogyakarta, berlarian di kebun nanas yang membuat kakinya luka, melarikan diri dari rumah yang terbakar, menumpangi kapal feri dari Lampung, hingga hidup di jalanan ibu kota Jakarta.
Bahkan, ia ingat pernah tinggal di penjara yang gelap.
Widya menuturkan bahwa diadopsi di usia ketika sudah bisa mengingat, membawa “dampak sangat besar” bagi hidupnya di kemudian hari.
“Itu berdampak sangat besar dan saya pikir banyak orang tidak mengerti bahwa itu akan selalu menjadi bagian dari Anda. Ada bagian dari Indonesia yang tidak bisa Anda tinggalkan,” ujar Widya.
“Saya sangat rindu kampung halaman selama beberapa tahun pertama saya berada di Belanda,” ujarnya kemudian.
Kenangan-kenangan masa kecil itu yang menjadi andalannya untuk mencari ibu kandungnya di Indonesia, sebab informasi yang ada dalam surat kelahiran dan dokumen adopsinya ternyata palsu.
Ia baru mengetahui kalau ada yang salah dengan proses adopsinya pada 1991. Saat itu ia berusia 12 tahun dan orang tua angkatnya – Jan dan Edith Boerma – berkunjung ke Indonesia demi mencari ibu kandungnya.
Yayasan Kasih Bunda, yang memproses adopsinya kala itu mengakui bahwa mereka memalsukan nama orang tua yang ada di surat kelahirannya.
Namun mereka menjanjikan Widya bertemu dengan perempuan yang diklaim sebagai ibunya. Tapi pertemuan itu menyisakan pergulatan batin tersendiri bagi Widya, sebab ia merasa tak ada koneksi dengan “sang ibu”. Instingnya berkata, perempuan itu bukan ibu kandungnya.
Trauma yang ia alami ketika dipisahkan dari ibu kandungnya pada 1979 dan pertemuan yang tak mengenakkan pada 1991, membuatnya mengalami krisis identitas. Ia bahkan sempat membenci Indonesia di usia remajanya.
Ia kabur dari rumah orang tua angkatnya, dan tidak berkomunikasi dengan mereka selama sembilan tahun.
“Saya mengalami krisis identitas yang hebat. Ini adalah pencarian yang cukup panjang bagi saya untuk menemukan siapa diri saya,” ungkapnya.
Widya mengaku, memang benar anak-anak yang diadopsi merasakan cinta dari orang tua angkatnya. Namun ketika beranjak dewasa dan mengalami krisis identitas, ia menyadari bahwa ia tidak tahu sama sekali tentang asal-usulnya.
“Itu… sangat sulit. Saya sering dengar orang lain bilang, ‘Oh, kamu semestinya bahagia karena memiliki banyak uang’, yang sering kali tidak benar, dan ‘Kamu punya kehidupan yang ideal’, ini tidak benar karena materi tidak bisa mengubah (kondisi) bahwa saya ingin mengetahui identitas saya,” ungkap Widya.
Perjalanan hidup Widya, sejatinya memang penuh liku dan kejadian yang tak terduga. Itu juga yang ia alami selama enam pekan pencariannya di Indonesia.
Ia hampir bertemu dengan ibu kandungnya, ketika seorang perempuan bernama Suyatni mengaku sebagai ibu kandungnya.
Entah bagaimana, Widya merasa ada detail dalam kisah hidup perempuan itu yang sesuai dengan ingatan masa kecilnya.
Tapi lagi-lagi, instingnya meragukan Suyatni adalah benar-benar ibu kandungnya. Mereka sempat melakukan napak tilas masa lalu hingga menyeberangi perairan Selat Sunda menuju Lampung.
Hingga akhirnya di tengah perjalanan, Suyatni tiba-tiba memaksa kembali ke Jakarta. Beberapa kali, dia juga memberikan keterangan yang berbeda-beda tentang beberapa detail akan masa lalunya. Kepulangannya yang tiba-tiba, tak diduga oleh wartawan BBC Indonesia maupun Widya.
“Saya sangat kecewa saat itu dan sebenarnya agak muak dan lelah, karena setelah 42 tahun, saya merasa saya hanya butuh kebenaran. Seberapa buruk itu, tidak masalah. Saya hanya ingin tahu apakah ingatan saya benar atau tidak. Saya hanya ingin tahu latar belakang saya. Hanya itu,” ungkap Widya, yang berusaha menahan emosinya.
Kejadian tak terduga lain yang dijumpai dalam upaya pencarian di Indonesia didapati ketika Widya ke Pasuruan, Jawa Timur, mengunjungi lokasi panti asuhan yang dulu diduga terlibat dalam sejumlah adopsi ilegal ke luar negeri.
Panti asuhan itu tak lagi beroperasi, tapi dia sempat berjumpa dengan mantan perawat yang dulu pernah bekerja di sana.
Yang membuat takjub, perempuan itu mengenali Widya kecil dalam foto yang ditunjukkan padanya sebagai Tuti, nama panggilan Widya oleh orang-orang terdekatnya, termasuk orang tua angkatnya.
Bagaimana mungkin, seorang perawat yang hidup sekitar 800 meter dari Jakarta – lokasi terakhir Widya sebelum diadopsi – mengenali Widya?
Mungkinkah dalam masa hidupnya sebelum diadopsi ke Belanda, ia berpindah-pindah dari Yogyakarta, Lampung, Jakarta dan Pasuruan?
Mungkinkah nasib Widya sama seperti Yanien Veenendaal, yang diculik dari keluarganya di Semarang pada 1980?
Yanien Veenendaal diculik dari keluarganya di Semarang pada 1980. Ia lalu diadopsi ke Belanda dengan dokumen palsu Yanien lalu dibawa ke Jakarta untuk diadopsi ke Belanda lewat Yayasan Kasih Bunda, yayasan yang sama yang memproses adopsi Widya.
Seluruh identitas – nama, tanggal lahir, nama dan alamat orang tua, bahkan usianya – dipalsukan.
Ia yang kala itu berusia 10 tahun, diklaim berusia 6 tahun di surat kelahiran palsunya, menyesuaikan batas maksimal usia anak bisa diadopsi di Belanda.
“Orang di sana sudah tahu juga kalau kami umur enam tahun atau lebih ndak boleh ke sini. Karena itu umur saya harus ditukar. Karena itu saya boleh ke sini,” ujar Yanien di Apeeldoorn, kota kecil di timur Amsterdam.
Di rumahnya, Yanien menunjukkan dokumen-dokumen yang membuktikan identitasnya diubah sebanyak tiga kali Yanien bertemu kembali dengan ibu kandungnya pada 1996, setelah 16 tahun terpisah.
Ia pun kini telah fasih berbahasa Indonesia, bahkan dengan logat Jawa yang kental karena seringnya berkomunikasi dengan keluarganya di Semarang.
Kendati berhasil bersatu kembali dengan keluarganya, Yanien merasa penculikan dan adopsi paksa yang ia alami, meninggalkan trauma baginya, yang membuatnya gamang kembali ke Indonesia.
“Saya takut diculik lagi. Saya takut kalau saya tinggal di Indonesia lagi, mungkin orang jahat ambil saya lagi, dijual lagi, bagaimana setelah itu?”
Adapun Widya mengaku harus merogoh hampir 5.000 euro (hampir Rp 80 juta) dari tabungannya, untuk keseluruhan penelusuran asal-usulnya selama enam pekan di Indonesia, termasuk melakukan sejumlah tes DNA.
Biaya perjalanannya membengkak sebab selama berpindah dari satu kota ke kota yang lain, ia harus melakukan tes covid.
Belum lagi, biaya karantina yang tak sedikit. Ia juga harus mengorbankan waktu dan energinya, demi menemukan ibu kandungnya.
Maka dari itu, Widya dan mereka yang senasib dengannya, mendesak pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi atas pencarian ibu kandungnya.